Jumat, 28 Juni 2013
Sejarah Kehidupan Santa Monica (Sang pelindung bagi orang tua yang dalam kesulitan, para wanita yang berkeluarga dan para janda)
Wanita yang kita kenal dengan nama Santa Monica dilahirkan dalam suatu keluarga Kristen di Tagaste, Aljazair, di seberang Laut Tengah berseberangan dengan kota Roma dalam tahun 332 Masehi.
Sama halnya dengan kawan-kawan gadisnya, Monica menikah dalam usia masih muda, dengan seorang kafir, seorang pejabat Romawi tingkat rendah bernama Patrisius.
Pada jaman itu orang Kristen masih jarang dan terpisah-pisah oleh jarak tempat tinggal mereka. Perkawinan itu dikaruniai tiga anak; yang tertua dan yang paling terkenal adalah Agustinus.
Patrisius bukanlah seorang suami yang dapat dicontoh. Dia sangat pemarah dan suka menghujat. Namun Monica terus tekun berdoa untuk pertobatan suaminya. Kesalehannya, kesabarannya dan keuletannya membuahkan hasil. Patrisius bertobat, menerima baptisan. Namun dia hidup sebagai orang Kristen hanya setahun lalu meninggal dunia.
Agustinus menjadi beban bagi ibunya yang pengampun itu. Dia sangat brilian, cepat disukai orang. Namun demikian dia meniru ayahnya. Hal ini mengecewakan Monica. Agustinus tidak mau menerima baptisan. Malah dia menganut aliran sesat dan mengatakan bahwa orang Kristen itu tidak benar.
Selama bertahun-tahun Monica berdoa, berpuasa dan sering dengan diam-diam mengucurkan air matanya sampai membasahi bantalnya. Semua karena cara hidup puteranya yang tidak keruan dan menyedihkan.
Allah mendengarkan doa-doa Monica yang setia itu. Agustinus meninggalkan gaya hidupnya yang penuh dosa itu. Dia menerima baptisan dari seorang pengkotbah dan pujangga Gereja yang besar. Santo Ambrosius dari Milan, pada Hari Minggu Paskah, tahun 387.
Monica, ibunya Agustinus meninggal tak lama setelah itu, dalam usia 53 tahun. Dia meninggal dalam keyakinan bahwa Allah telah mendengarkan doa-doanya dan bahwa tugasnya di dunia telah selesai.
Santa Monica adalah pelindung bagi orang tua yang dalam kesulitan, para wanita yang berkeluarga dan para janda. Hari pestanya dirayakan oleh Gereja setiap tahun pada tanggal 27 Agustus.
Kamis, 27 Juni 2013
St. Hironimus (Sang Pengaku dan Pembela Iman)
Masa kecil hingga menjelang dewasa
St.
Hieronimus dilahirkan dengan nama lengkap Eusebius Hieronimus
Sophronius pada tahun 342 di Stridon, tepatnya di kota kecil perbatasan
Pannonia, Dalmatia dan Italia, dekat Aquileia. Ayahnya bernama Eusebius
adalah seorang yang saleh. Ia mendidik St. Hieronimus dalam hidup
kristiani yang taat. Di Roma, St. Hieronimus Belajar pada Donatus
seorang penyembah berhala dan ahli tata bahasa yang terkenal. Ia menjadi
seorang ahli bahasa Latin dan Yunani, tetapi sayang setelah menjadi
murid seorang penyembah berhala, dia pun menjadi seorang kafir dan lupa
akan kebenaran dan kesalehan yang telah ditanamkan kepadanya sewaktu
masa kecilnya. St. Hieronimus mempunyai kebiasaan yang sungguh-sungguh
buruk dan kasar, tetapi ia merasa sangat tidak bahagia dan menjadi
seorang yang asing akan kekristenan, diperbudak oleh kesia-siaan dan
juga kedagingan. Kemudian ia bertobat dan memberi diri untuk dibaptis
oleh Paus Liberius di Roma.
Hidup berpadang gurun
Pada
tahun 374 St. Hieronimus pergi ke Antiokia dan membuat tempat tinggal
di sana. Beberapa waktu kemudian ia jatuh sakit. Dalam keadaan sakit
itulah St. Hieronimus mengalami suatu sentuhan Tuhan yang begitu
mendalam. Pengalaman ini memberikan pengaruh yang besar dalam dirinya
yang kemudian semakin diteguhkan saat pertemuannya dengan St. Malchus
yang memberikan pandangan mengenai hidup rohani. Setelah mengalami semua
itu, St. Hieronimus memutuskan untuk pergi ke Chalics, di sebelah
tenggara Antiokia. Dia menderita lebih dari sekedar sakit fisik dan
selain itu ia mendapat godaan kedagingan yang begitu kuat.
Di
padang gurun yang berbatu-batu, liar dan terpencil itu, St. Hieronimus
menulis surat kepada St. Eustochium. Ia menulis “Terbakar oleh panasnya
matahari yang menghanguskan dan begitu menakutkan, bahkan untuk para
pertapa yang tinggal di sini. Aku melihat tampaknya aku berada di
tengah-tengah kesenangan-kesenangan dan hiruk pikuknya kota Roma, dan
juga seperti di dalam pembuangan dan penjara, yang terdapat ketakutan
akan neraka. Aku dengan sukarela menghukum diriku sendiri, tiada teman,
yang ada hanyalah kalajengking dan binatang buas. Aku acapkali
membayangkan diriku menyaksikan tarian para gadis Roma, dan aku ada di
tengah-tengah mereka. Wajahku begitu pucat karena puasa, walaupun
demikian aku masih merasakan serangan dari hasrat dalam tubuhku yang
dingin, dalam dagingku yang kering dan hangus karena matahari ini.
Sepertinya aku mati sebelum kematian itu datang. Nafsuku menjadi begitu
hidup dan aku sendirian dengan musuh ini. Aku memberikan diriku dalam
roh di kaki Yesus, membasahinya dengan air mataku, dan aku menjinakkan
nafsuku dengan berpuasa selama seminggu penuh. Aku tidak malu untuk
menyingkapkan godaan-godaanku. Aku seringkali menangis dari malam sampai
siang hari dan memukul dadaku sampai ketenangan itu kembali.”
Dalam
hal ini St.Hieronimus berpikir bahwa Tuhan mengijinkan hal-hal itu
terjadi agar hamba-hambanya senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh
dalam mengikuti jejak-Nya. Untuk meredam pemberontakan dari kedagingan,
St. Hieronimus menambah aktivitas hariannya dengan belajar bahasa dan
tulisan Ibrani. St. Hieronimus dapat melihat bahwa segala kelemahan itu
hidup dalam dirinya. Ia berkata “Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan,
karena aku dapat memetik buah-buah yang manis dari segala pelajaran yang
pahit yang telah aku alami selama ini.”
Meninggalkan padang gurun dan menjadi seorang imam
Pada
tahun 379 karena kemajuan hidup rohaninya, St. Hieronimus diangkat
sebagai imam oleh Paulinus, Uskup Antiokia. St. Hieronimus pergi ke
Konstantinopel belajar kitab suci dibawah bimbingan St.Gregorius dari
Nazianze. Dan setelah itu ia pergi ke Roma untuk menghadiri konsili.
Beberapa waktu setelah konsili, Paus St. Damasus meminta St. Hieronimus
untuk menjadi sekretarisnya. Atas permintaan Paus, St. Hieronimus
membuat revisi Kitab Suci. Saat itu Kitab Suci yang ada sangat tidak
bagus karena banyak terjemahan-terjemahan yang buruk, dan interpolasi
yang serampangan. Revisi ini adalah revisi pertama dari Kitab Suci
berbahasa Latin yang ada.
Mulai mengalami pertentangan
Disamping
aktivitas dan tugas-tugasnya, St. Hieronimus juga membantu
mengembangkan dan mengarahkan semangat asketis yang sedang berkembang,
yang juga diikuti oleh para wanita bangsawan Roma, diantaranya adalah
St. Paula dengan anak-anaknya, St. Blesilla dan St. Eustochium. Mereka
ini nantinya menjadi pengikut pertama yang pergi ke tanah suci untuk
bergabung dengan St. Hieronimus. St. Hieronimus sangat gigih dalam
memerangi para penyembah berhala dan orang-orang yang hidup dalam
kejahatan, serta kaum religius yang mempunyai semangat suam-suam kuku,
dan mereka sangat terganggu oleh kata-kata keras, blak-blakan dan tajam
dari St. Hieronimus. Setelah Paus Damasus meninggal pada tahun 384, St.
Hieronimus tidak lagi mendapat perlindungan dan ia pun tidak lagi
menjabat sebagai sekretaris Paus.
Dalam
suratnya tentang kemurnian yang ia tulis kepada St. Eustochium, dia
menulis dengan tajam mengenai beberapa komunitas-komunitas Kristen, ia
menulis “Semua keinginan mereka adalah selalu mengenai pakaian-pakaian
mewah dan indah-indah, seharusnya mereka dibawa ke kamar pengantin dari
pada menjadi seorang biarawan; pikiran mereka hanya ingin mengetahui
tentang nama-nama, rumah-rumah dan apa yang menjadi kebiasaan para
bangsawan, mereka membenci puasa, dan hanya menuruti hasrat lidah
mereka.” Dari apa yang terjadi itu bukanlah hal yang mengejutkan, bila
membangkitkan kemarahan. St. Hieronimus pun difitnah dan juga disebarkan
gosip tentang skandal antara dirinya dan St. Paula. Akhirnya St.
Hieronimus pun menghindar dan kembali ke Selatan, ia mencoba menenangkan
diri dalam kesunyian. Dalam permasalahan ini pun St. Hieronimus
berbesar hati dan ia berkata “Kita semua harus bertahan sampai kursi
pengadilan Kristus tiba, dan kita dapat tahu roh apakah yang
menghidupkan kita.” Sembilan bulan kemudian di Antiokia St. Paula dan
St. Eustochium beserta para wanita saleh Roma yang lainnya bergabung
kembali dan memutuskan untuk mengasingkan diri bersama dengan St.
Hieronimus di tanah suci.
PEMBELAAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Karena
kemurahan hati St. Paula, maka dibangunlah sebuah biara untuk para
biarawan dan biarawati di dekat Basilika Nativity di Bethlehem. St.
Hieronimus sendiri hidup di dekat Bethlehem dan membuka sebuah seko-lah.
Akhirnya selama beberapa tahun di sana mereka mendapatkan kedamaian.
Akan tetapi St. Hieronimus tidak dapat berdiam diri saat kebenaran Iman
Kristen terancam. Dia menerbitkan buku di Roma yang melawan Hel-vidius
dalam memperdebatkan doktrin tentang keperawanan St. Maria. Helvidius
memberikan pengajaran bahwa Maria mempunyai anak-anak dari St. Yusuf
setelah kelahiran Yesus Kristus. Selain itu ia menulis buku untuk
mela-wan aliran bidaah Jovinian. Hal pertama yang ia jelaskan adalah
keperawanan Bunda Maria, yang disangkal oleh para pengikut Jovinian, dan
yang kedua adalah melawan pengajaran-pengajaran keliru dan sesat yang
lain. Buku-buku itu ditulis dengan keyakinan iman yang kuat, tajam dan
keras. Beberapa tahun kemudian St. Hieronimus mengarahkan perhatiannya
kepada Vigilantius – Dormantius, kedua imam yang menentang selibat dan
penghormatan kepada relikwi orang kudus dan para martir. Mereka
menjuluki orang yang menghormatinya sebagai penyembah-penyembah berhala
dan ibadat yang sia-sia. Dalam hal itu ia memberikan jawaban “Kami tidak
menyembah relikwi para martir itu; tetapi kami menghormati mereka dan
kami menyembah Dia yang memanggil mereka pada jalan kemartiran itu, kami
menghormati para hamba Allah dan penghormatan yang kami berikan
mencerminkan penghormatan dan penyembahan kami kepada-Nya.” St.
Hieronimus memberikan arti penghormatan yang sesungguhnya dan memberikan
penjelasan tentang perbedaan antara menghormati dan penyembahan
berhala. “Tidak ada seorang Kristen pun yang menyembah mereka sebagai
Tuhan” dan untuk menunjukkan bahwa para santo dan santa berdoa bagi
kita, St. Hieronimus berkata “Jika para rasul dan para martir saat masih
hidup di dunia dapat mendoakan orang lain, betapa lebih lagi apa yang
dapat mereka lakukan setelah mereka menerima mahkota kemenangan di
Surga! Apakah saat ini mereka menjadi tidak berdaya? Ingat mereka kini
bersatu dengan Yesus Kristus di Surga!”
Dari
tahun 395 sampai 400 St. Hieronimus ikut serta dalam melawan aliran
Origenisme. Ada beberapa penulis mengatakan, tidak ada orang yang lebih
suka memakai hasil karya Origenes dan mengagumi karyanya itu lebih dari
St. Hieronimus; tetapi ditemukan di Gereja Timur ada beberapa orang yang
membuat penyesatan yang menyedihkan dengan memakai nama Origenes dan
juga dalam beberapa tulisannya. Ia bersama dengan St. Epifanius secara
aktif melawan penyebaran ajaran yang tidak benar itu. St. Hieronimus
menulis pada tahun 416 “Aku tidak pernah terpengaruh oleh bidaah dan
selalu berhasil menekankan sepenuhnya dalam diriku bahwa musuh Gereja
juga menjadi musuhku,” tetapi ia begitu bijaksana dan toleran kepada
orang lain dengan mengatakan bahwa bukan berarti setiap orang yang
berbeda pandangan dengannya adalah juga musuh Gereja. Ia tidak mempunyai
sikap yang basa-basi jika memerangi hal kejahatan dan penyesatan, ia
adalah orang yang cepat marah dalam hal tertentu, tetapi ia juga orang
yang cepat menyesal, bahkan hal itu ia tekankan lebih terhadap dirinya
sendiri daripada terhadap orang lain. Ada sebuah cerita bahwa Paus
Sixtus V melihat lukisan-lukisan para kudus yang salah satunya terdapat
lukisan St. Hieronimus, dan disitu dilukiskan St. Hieronimus sedang
memukul dadanya dengan sebuah batu. Dan Paus Sixtus V berkata “Kamu
melakukan hal yang baik dengan batu itu, tanpa hal itu kamu tidak akan
dikanonisasi dan digelarkan kudus oleh Gereja.”
Hieronimus seorang ahli penterjemah Kitab Suci
Tidak
ada yang disumbangkan oleh St. Hieronimus untuk Gereja yang lebih
termasyhur daripada hasil karya penerjemahan Kitab Suci yang begitu
indah. Dapat dilihat pada waktu Roma dibawah pimpinan Paus Damasus, St.
Hieronimus telah memperbaiki terjemahan Injil, dan seluruh kitab
Perjanjian Baru serta Mazmur dalam bahasa Latin kuno. Terjemahan barunya
dari bahasa Ibrani terutama Perjanjian Lama adalah karyanya pada
tahun-tahun ketika ia tinggal di Bethlehem. Dilihat dalam berbagai sudut
pandang penterjemahan dari bahasa asli ke dalam bahasa Latin,
terjemahan ini sungguh patut untuk dikagumi. Terjemahannya dalam bahasa
Latin mendapat sebutan Vulgata. Hasil karya St. Hieronimus ini telah
dinyatakan oleh Konsili Trente sebagai sumber dan acuan resmi Kitab Suci
berbahasa Latin dalam Gereja Katolik dan juga menjadi sumber dan acuan
dari versi-versi kitab suci yang dibuat atau diterjemahkan dengan
bahasa-bahasa lain.
St.
Hieronimus telah dibangkitkan oleh Tuhan dengan cara yang khusus dan
istimewa. Gereja memberinya gelar yang tertinggi dari semua Doktor yang
ada dalam Gereja untuk penterjemahan Kitab Suci. Paus Clement VIII
menyebut St. Hieronimus sebagai manusia yang dibimbing secara ilahi
dalam menter-jemahkan Kitab Suci itu. Ia dipersiapkan dengan begitu luar
biasa oleh Tuhan dalam pembentukannya, ia mengalami pemurnian hati yang
besar dan menghabiskan waktu-waktunya dalam keheningan, kontemplasi dan
kurban-kurban untuk silih bagi dosa-dosanya. Selain hal-hal tersebut,
St. Hieronimus adalah seorang insan Allah, ia senantiasa berusaha
mencari Allah dalam kesunyian dan keheningan untuk dapat bersatu
dengan-Nya. Kesunyian dan keheningan itu memberi terang dan bantuan
rahmat dari surga, memberikan pikiran dan watak yang baru kepadanya,
sebelum Tuhan memanggil dan memakainya untuk melakukan kehendak-Nya.
Akhir Hidupnya
Menjelang
hari-hari kematiannya St. Hieronimus menunda pekerjaan studinya karena
serbuan bangsa Barbar, dan juga kekerasan dan penganiayaan oleh para
pengikut bidaah Pelagianisme. Banyak yang disiksa, seorang diakon
dibunuh, dan mereka membakar biara-biara. Pada tahun berikutnya St.
Eustochium meninggal dan tak lama kemudian St. Hieronimus pun meninggal
dunia. Ia meninggal dengan damai pada tanggal 30 september 420. Ia
dimakamkan di bawah Gereja Nativity, dan lama sesudah itu jenasahnya
dipindahkan ke Roma. St. Hieronimus digambarkan bersama dengan seekor
singa yang melambangkan ketidakgentaran dan keberaniannya dalam membela
kebenaran iman yang sejati.
Ketekunan
St. Hieronimus dalam doa dan kepekaan terhadap bimbingan Roh Kudus,
memberi dia kemampuan untuk mengenal dan memahami apa yang menjadi
kehendak Tuhan melalui Sabdanya. Karena itu marilah kita meneladani
semangat doa dari St. Hieronimus ini dan keterbukaan hatinya akan
kehadiran Roh Kudus agar kita mampu mengenal apa yang menjadi kehendak
Tuhan dalam kehidupan kita, baik itu lewat Sabda Tuhan sendiri maupun
lewat bisikan Roh Kudus di dalam doa-doa harian kita.
Maria (Ibu Yesus Kristus Tuhan dan semua orang beriman dan percaya)
Pengajaran Dasar Bunda Maria
Maria adalah seorang perawan yang tinggal di Nazaret, daerah Galilea. Yoakim dan Anna adalah nama ayah dan ibunya. Sebagai seorang Yahudi Maria sangat mengharapkan kedatangan sang Mesias, yaitu Juruselamat dunia. Dalam kehidupan Geraja Katolik, Bunda Maria merupakan sosok pribadi yang mempunyai tempat sungguh istimewa. Gereja Katolik sangat menghormatinya, sehingga dapat kita lihat, begitu kuat Devosi terhadap Bunda Maria.
Penghormatan ini dilakukan oleh Gereja
Katolik dengan berbagai macam cara dan Devosi. Gereja Katolik memberikan bulan khusus, yaitu Mei dan Oktober untuk menghormati Bunda Maria. Pada bulan Mei dan Oktober, Gereja Katolik mengajak umatnya untuk berdoa Rosario, baik secara pribadi maupun berkelompok (baik di lingkungan/stasi, dsb) ataupun lewat ziarah-ziarah ke gua Maria. Dalam kehidupan Liturgi Gereja Katolik,menempatkan beberapa pesta yang berkaitan dengan bunda Maria. Hal tersebut menunjukan bahwa Bunda Maria sungguh mempunyai tempat yang istimewa di dalam Gereja katolik.
Dimana Letak keistimewaan Bunda Maria?
Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria. Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau." Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu. Kata malaikat itu kepadanya: "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan." Kata Maria kepada malaikat itu: "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?" Jawab malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu. Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil." Kata Maria: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Lalu malaikat itu meninggalkan dia. (Luk 1:26-38)
Dari perikop diatas kita mengetahui, bahwa dengan penuh iman dan penyerahan diri secara total kepada penyelenggaraan ilahi, Bunda maria berani menjawab panggilan Allah.
Dalam perjalanan Hidupnya Bunda Maria mempunyai relasi yang sangat mesra dengan Putranya Yesus Kristus, sejak ada dalam kandungan serta sampai wafat-Nya, karena ia telah dipilih oleh Allah menjadi Bunda Allah. Lewat kedekatan relasi inilah yang menjadikan Gereja katolik memppunyai keyakinan bahwa Maria sungguh-sungguh istimewa, baik dihadirat Allah maupun manusia.
lewat perjalanan sejarah Gereja dalam bimbingan Roh Kudus, lewat berbagai konsili Nicea, Konsili Efesus, konsili Kalcedon menetapkan bahwa Yesus sebagai Anak Allah, yang memang sungguh-sungguh Allah oleh karena sehakikat dengan Bapa, menjadi daging, menjadi manusia begitu rupa, sehingga Ia adalah Allah dan manusia (secara serentak), namun tetap satu.
Karena Yesus adalah benar-benar Allah, maka ibu Yesus menjadi ibu Allah. Istilah "Mater Dei" (bahasa latin) yang artinya Bunda Allah, mulai disebut pada abad ke IV
Biografi (Sang Pengaku Iman) St. Thomas Aquino-Filsuf Dunia
Thomas Aquinas (1225, Aquino, Italia – Fossanova, Italia, 7 Maret 1274), kadangkala juga disebut Thomas dari Aquino (bahasa Italia: Tommaso d’Aquino) adalah seorang filsuf dan ahli teologi ternama dari Italia. Ia terutama menjadi terkenal karena dapat membuat sintesis dari filsafat Aristoteles dan ajaran Gereja Kristen. Sintesisnya ini termuat dalam karya utamanya: Summa Theologiae (1273). Ia disebut sebagai "Ahli teologi utama orang Kristen." Bahkan ia dianggap sebagai orang suci oleh Gereja Katholik dan memiliki gelar santo.
Kehidupan Thomas Aquinas
Aquinas merupakan teolog skolastik yang terbesar. Ia adalah murid Albertus Magnus. Albertus mengajarkan kepadanya filsafat Aristoteles sehingga ia sangat mahir dalam filsafat itu. Pandangan-pandangan filsafat Aristoteles diselaraskannya dengan pandangan-pandangan Alkitab. Ialah yang sangat berhasil menyelaraskan keduanya sehingga filsafat Aristoteles tidak menjadi unsur yang berbahaya bagi iman Kristen. Pada tahun 1879, ajaran-ajarannya dijadikan sebagai ajaran yang sah dalam Gereja Katolik Roma oleh Paus Leo XIII.
Thomas dilahirkan di Roccasecca, dekat Aquino, Italia, tahun 1225. Ayahnya ialah Pangeran Landulf dari Aquino. Orang tuanya adalah orang Kristen Katolik yang saleh. Itulah sebabnya anaknya, Thomas, pada umur lima tahun diserahkan ke biara Benedictus di Monte Cassino untuk dibina agar kelak menjadi seorang biarawan. Setelah sepuluh tahun Thomas berada di Monte Cassino, ia dipindahkan ke Naples untuk menyelesaikan pendidikan bahasanya. Selama di sana, ia mulai tertarik kepada pekerjaan kerasulan gereja, dan ia berusaha untuk pindah ke Ordo Dominikan, suatu ordo yang sangat berperanan pada abad itu. Keinginannya tidak direstui oleh orang tuanya sehingga ia harus tinggal di Roccasecca setahun lebih lamanya. Namun, tekadnya sudah bulat sehingga orang tuanya menyerah kepada keinginan anaknya. Pada tahun 1245, Thomas resmi menjadi anggota Ordo Dominikan.
Sebagai anggota Ordo Dominikan, Thomas dikirim belajar pada Universitas Paris, sebuah universitas yang sangat terkemuka pada masa itu. Ia belajar di sana selama tiga tahun (1245 -- 1248). Di sinilah ia berkenalan dengan Albertus Magnus yang memperkenalkan filsafat Aristoteles kepadanya. Ia menemani Albertus Magnus memberikan kuliah di Studium Generale di Cologne, Perancis, pada tahun 1248 - 1252.
Pada tahun 1252, ia kembali ke Paris dan mulai memberi kuliah Biblika (1252-1254) dan Sentences, karangan Petrus Abelardus (1254-1256) di Konven St. Jacques, Paris.
Kecakapan Thomas sangat terkenal sehingga ia ditugaskan untuk memberikan
kuliah-kuliah dalam bidang filsafat dan teologia di beberapa kota di Italia, seperti di Anagni, Orvieto, Roma, dan Viterbo, selama sepuluh tahun lamanya. Pada tahun 1269, Thomas dipanggil kembali ke Paris. Ia hanya tiga tahun berada di sana karena pada tahun 1272 ia ditugaskan untuk membuka sebuah sekolah Dominikan di Naples.
Dalam perjalanan menuju ke Konsili Lyons, tiba-tiba Thomas sakit dan meninggal di biara Fossanuova, 7 Maret 1274. Paus Yohanes XXII mengangkat Thomas sebagai orang kudus pada tahun 1323.
Ajaran Thomas Aquinas
Thomas mengajarkan Allah sebagai "ada yang tak terbatas" (ipsum esse subsistens). Allah adalah "dzat yang tertinggi", yang memunyai keadaan yang paling tinggi. Allah adalah penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat Aristoteles dalam pandangannya.
Dunia ini dan hidup manusia terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati). "Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan oleh rahmat," demikian kata Thomas Aquinas.
Mengenai manusia, Thomas mengajarkan bahwa pada mulanya manusia memunyai hidup kodrati yang sempurna dan diberi rahmat Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat Allah (rahmat adikodrati) itu hilang dan tabiat kodrati manusia menjadi kurang sempurna. Manusia tidak dapat lagi memenuhi hukum kasih tanpa bantuan rahmat adikodrati. Rahmat adikodrati itu ditawarkan kepada manusia lewat gereja. Dengan bantuan rahmat adikodrati itu manusia dikuatkan untuk mengerjakan keselamatannya dan memungkinkan manusia dimenangkan oleh Kristus.
Mengenai sakramen, ia berpendapat bahwa terdapat tujuh sakramen yang diperintahkan oleh Kristus, dan sakramen yang terpenting adalah Ekaristi (sacramentum sacramentorum). Rahmat adikodrati itu disalurkan kepada orang percaya lewat sakramen. Dengan menerima sakramen, orang mulai berjalan menuju kepada suatu kehidupan yang baru dan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang menjadikan ia berkenan kepada Allah. Dengan demikian, rahmat adikodrati sangat penting karena manusia tidak bisa berbuat apa-apa yang baik tanpa rahmat yang dikaruniakan oleh Allah.
Gereja dipandangnya sebagai lembaga keselamatan yang tidak dapat berbuat salah dalam ajarannya. Paus memiliki kuasa yang tertinggi dalam gereja dan Pauslah satu-satunya pengajar yang tertinggi dalam gereja. Karya teologis Thomas yang sangat terkenal adalah "Summa Contra Gentiles" dan "Summa Theologia".
Dalam perjalanan menuju ke Konsili Lyons, tiba-tiba Thomas sakit dan meninggal di biara Fossanuova, 7 Maret 1274. Paus Yohanes XXII mengangkat Thomas sebagai orang kudus pada tahun 1323.
Ajaran Thomas Aquinas
Thomas mengajarkan Allah sebagai "ada yang tak terbatas" (ipsum esse subsistens). Allah adalah "dzat yang tertinggi", yang memunyai keadaan yang paling tinggi. Allah adalah penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat Aristoteles dalam pandangannya.
Dunia ini dan hidup manusia terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati). "Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan oleh rahmat," demikian kata Thomas Aquinas.
Mengenai manusia, Thomas mengajarkan bahwa pada mulanya manusia memunyai hidup kodrati yang sempurna dan diberi rahmat Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat Allah (rahmat adikodrati) itu hilang dan tabiat kodrati manusia menjadi kurang sempurna. Manusia tidak dapat lagi memenuhi hukum kasih tanpa bantuan rahmat adikodrati. Rahmat adikodrati itu ditawarkan kepada manusia lewat gereja. Dengan bantuan rahmat adikodrati itu manusia dikuatkan untuk mengerjakan keselamatannya dan memungkinkan manusia dimenangkan oleh Kristus.
Mengenai sakramen, ia berpendapat bahwa terdapat tujuh sakramen yang diperintahkan oleh Kristus, dan sakramen yang terpenting adalah Ekaristi (sacramentum sacramentorum). Rahmat adikodrati itu disalurkan kepada orang percaya lewat sakramen. Dengan menerima sakramen, orang mulai berjalan menuju kepada suatu kehidupan yang baru dan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang menjadikan ia berkenan kepada Allah. Dengan demikian, rahmat adikodrati sangat penting karena manusia tidak bisa berbuat apa-apa yang baik tanpa rahmat yang dikaruniakan oleh Allah.
Gereja dipandangnya sebagai lembaga keselamatan yang tidak dapat berbuat salah dalam ajarannya. Paus memiliki kuasa yang tertinggi dalam gereja dan Pauslah satu-satunya pengajar yang tertinggi dalam gereja. Karya teologis Thomas yang sangat terkenal adalah "Summa Contra Gentiles" dan "Summa Theologia".
Sumber :
Geogle Search
- http://mrthomasaquinas.multiply.com/journal/item/1
Biografi (Sang Ibu Kaum Miskin dan Terlantar) Beata Teresa dari Calcuta
Bunda Teresa, seorang yang memberi hatinya untuk melayani di tengah-tengah masyarakat miskin di India.Dilahirkan di Skopje, Albania pada 26 Agustus 1910, Bunda Teresa merupakan anak bungsu dari pasangan Nikola dan Drane Bojaxhiu. Ia memiliki dua saudara perempuan dan seorang saudara lelaki. Ketika dibaptis, ia diberi nama Agnes Gonxha. Ia menerima pelayanan sakramen pertamanya ketika berusia lima setengah tahun dan diteguhkan pada bulan November 1916.
Ketika berusia delapan tahun, ayahnya meninggal dunia, dan meninggalkan keluarganya dengan kesulitan finansial. Meski demikian, ibunya memelihara Gonxha dan ketiga saudaranya dengan penuh kasih sayang. Drane Bojaxhiu, ibunya, sangat memengaruhi karakter dan panggilan pelayanan Gonxha.
Ketika memasuki usia remaja, Gonxha bergabung dalam kelompok pemuda jemaat lokalnya yang bernama Sodality. Melalui keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan yang dipandu oleh seorang pastor Jesuit, Gonxha menjadi tertarik dalam hal misionari. Tampaknya hal inilah yang kemudian berperan dalam dirinya sehingga pada usia tujuh belas, ia merespons panggilan Tuhan untuk menjadi biarawati misionaris Katolik.
Pada tanggal 28 November 1928, ia bergabung dengan Institute of the Blessed Virgin Mary, yang dikenal juga dengan nama Sisters of Loretto, sebuah komunitas yang dikenal dengan pelayanannya di India. Ketika mengikrarkan komitmennya bagi Tuhan dalam Sisters of Loretto, ia memilih nama Teresa dari Santa Theresa Lisieux.
Suster Teresa pun dikirim ke India untuk menjalani pendidikan sebagai seorang biarawati. Setelah mengikrarkan komitmennya kepada Tuhan, ia pun mulai mengajar pada St. Mary’s High School di Kalkuta. Di sana ia mengajarkan geografi dan katekisasi. Dan pada tahun 1944, ia menjadi kepala sekolah St. Mary.
Akan tetapi, kesehatannya memburuk. Ia menderita TBC sehingga tidak bisa lagi mengajar. Untuk memulihkan kesehatannya, ia pun dikirim ke Darjeeling.
Dalam kereta api yang tengah melaju menuju Darjeeling, Suster Teresa mendapat panggilan yang berikut dari Tuhan; sebuah panggilan di antara banyak panggilan lain. Kala itu, ia merasakan belas kasih bagi banyak jiwa, sebagaimana dirasakan oleh Kristus sendiri, merasuk dalam hatinya. Hal ini kemudian menjadi kekuatan yang mendorong segenap hidupnya. Saat itu, 10 September 1946, disebut sebagai “Hari Penuh Inspirasi” oleh Bunda Teresa.
Selama berbulan-bulan, ia mendapatkan sebuah visi bagaimana Kristus menyatakan kepedihan kaum miskin yang ditolak, bagaimana Kristus menangisi mereka yang menolak Dia, bagaimana Ia ingin mereka mengasihi-Nya.
Pada tahun 1948, pihak Vatikan mengizinkan Suster Teresa untuk meninggalkan ordonya dan memulai pelayanannya di bawah Keuskupan Kalkuta. Dan pada 17 Agustus 1948, untuk pertama kalinya ia memakai pakaian putih yang dilengkapi dengan kain sari bergaris biru.
Ia memulai pelayanannya dengan membuka sebuah sekolah pada 21 Desember 1948 di lingkungan yang kumuh. Karena tidak memiliki dana, ia membuka sekolah terbuka, di sebuah taman. Di sana ia mengajarkan pentingnya pengenalan akan hidup yang sehat, di samping mengajarkan membaca dan menulis pada anak-anak yang miskin. Selain itu, berbekal pengetahuan medis, ia juga membawa anak-anak yang sakit ke rumahnya dan merawat mereka.
Tuhan memang tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya berjuang sendirian. Inilah yang dirasakan oleh Bunda Teresa tatkala perjuangannya mulai mendapat perhatian, tidak hanya individu-individu, melainkan juga dari berbagai organisasi gereja.
Pada 19 Maret 1949, salah seorang muridnya di St. Mary bergabung dengannya. Diinspirasi oleh gurunya itu, ia membaktikan dirinya untuk pelayanan kasih bagi mereka yang sangat membutuhkan.
Segera saja mereka menemukan begitu banyak pria, wanita, bahkan anak-anak yang sekarat. Mereka telantar di jalan-jalan setelah ditolak oleh rumah sakit setempat. Tergerak
oleh belas kasihan, Bunda Teresa dan rekan barunya itu pun menyewa sebuah ruangan untuk merawat mereka yang sekarat.
Pada tanggal 7 Oktober 1950, Missionary of Charity didirikan di Kalkuta. Mereka yang tergabung di dalamnya pun semakin teguh untuk melayani dengan sepenuhnya memberi diri mereka untuk melayani kaum termiskin di antara yang miskin. Mereka tidak pernah menerima pemberian materi apa pun sebagai balasan atas pelayanan yang mereka lakukan.
Pada awal 1960-an, Bunda Teresa mulai mengirimkan suster-susternya ke daerah-daerah lain di India. Selain itu, pelayanan dari Missionary of Charity mulai melebarkan sayapnya di Venezuela (1965), yang kemudian diikuti oleh pembukaan rumah-rumah di Ceylon, Tanzania Roma, dan Australia yang ditujukan untuk merawat kaum miskin.
Setelah Missionary of Charity, sejumlah yayasan pun didirikan untuk memperluas pelayanan Bunda Teresa. Yang pertama ialah Association of Coworkers sebagai afiliasi dari Missionary of Charity. Asosiasi ini sendiri di setujui oleh Paus Paulus VI pada 26 Maret 1969. Meskipun merupakan afiliasi Missionary of Charity, asosiasi ini memiliki anggaran dasar tersendiri.
Selama tahun-tahun berikutnya, dari semula melayani hanya dua belas, Missionary of Charity berkembang hingga dapat melayani ribuan orang. Bahkan 450 pusat pelayanan tersebar di seluruh dunia untuk melayani orang-orang miskin dan telantar. Ia membangun banyak rumah bagi mereka yang menderita, sekarat, dan ditolak oleh masyarakat, dari Kalkuta hingga kampung halamannya di Albania. Ia juga salah satu pionir yang membangun rumah bagi penderita AIDS.
Berkat baktinya bagi mereka yang tertindas, Bunda Teresa pun mendapatkan berbagai penghargaan kemanusiaan. Pada tahun 1979, ia menerima John XXIII International Prize for Peace. Penghargaan ini diberikan langsung oleh Paus Paulus VI. Pada tahun yang sama, ia juga memperoleh penghargaan Good Samaritan di Boston.
Setelah mengabdikan dirinya selama bertahun-tahun di India, tentu saja pemerintah India tidak menutup mata akan pelayanannya. Maka pada tahun 1972, Bunda Teresa menerima Pandit Nehru Prize.
Setahun kemudian, ia menerima Templeton Prize dari Pangeran Edinburgh. Ia terpilih untuk menerima penghargaan tersebut dari dua ribu kandidat dari berbagai negara dan agama oleh juri dari sepuluh kelompok agama di dunia.
Puncaknya ialah pada tahun 1979 tatkala ia memperoleh hadiah Nobel Perdamaian. Hadiah uang sebesar $6.000 yang diperolehnya disumbangkan kepada masyarakat miskin di Kalkuta. Hadiah tersebut memungkinkannya untuk memberi makan ratusan orang selama setahun penuh. Ia berkata bahwa penghargaan duniawi menjadi penting hanya ketika penghargaan tersebut dapat membantunya menolong dunia yang membutuhkan.
Pada tahun 1985, Bunda Teresa mendirikan pusat rehabilitasi pertama agi korban AIDS di New York. Menyusul kemudian sejumlah rumah penampungan yang didirikan di San Fransisco dan Atlanta. Berkat upayanya ini, ia mendapatkan Medal of Freedom.
Pelayanan Bunda Teresa sama sekali tidak mengenal batas. Dipupuk di kampung halamannya, ia mengawali pelayanan di India. Dari India, pelayanannya meluas hingga ke seluruh penjuru dunia. Ia, di antaranya, berkunjung ke Etiopia untuk menolong korban kelaparan, korban radiasi di Chernobyl, dan korban gempa bumi di Armenia.
Memasuki tahun 1990-an, kondisi tubuh Bunda Teresa tidak mengizinkannya melakukan aktivitas yang berlebihan, khususnya setelah serangan jantung pada 1989. Kesehatannya merosot, sebagian karena usianya, sebagian karena kondisi tempat tinggalnya, sebagian lain dikarenakan perjalanannya ke berbagai penjuru dunia. Menyadari kondisi kesehatannya yang demikian, Bunda Teresa meminta Missionary of Charity untuk memilih penggantinya. Maka, pada 13 Maret 1997, Suster Nirmala terpilih untuk meneruskan pelayanan Bunda Teresa.
Bunda Teresa akhirnya meninggal dunia pada tanggal 5 September 1997 dalam usia 87 tahun. Berbagai petinggi dari 23 negara menghadiri pemakamannya. Upacara pemakaman diadakan pada 13 September 1997, di Stadion Netaji, India, yang berkapasitas 15.000 orang. Atas kebijakan Missionary of Charity, sebagian besar yang menghadiri upacara tersebut adalah orang-orang yang selama ini dilayani oleh Bunda Teresa.
Pada tanggal 7 Oktober 1950, Missionary of Charity didirikan di Kalkuta. Mereka yang tergabung di dalamnya pun semakin teguh untuk melayani dengan sepenuhnya memberi diri mereka untuk melayani kaum termiskin di antara yang miskin. Mereka tidak pernah menerima pemberian materi apa pun sebagai balasan atas pelayanan yang mereka lakukan.
Pada awal 1960-an, Bunda Teresa mulai mengirimkan suster-susternya ke daerah-daerah lain di India. Selain itu, pelayanan dari Missionary of Charity mulai melebarkan sayapnya di Venezuela (1965), yang kemudian diikuti oleh pembukaan rumah-rumah di Ceylon, Tanzania Roma, dan Australia yang ditujukan untuk merawat kaum miskin.
Setelah Missionary of Charity, sejumlah yayasan pun didirikan untuk memperluas pelayanan Bunda Teresa. Yang pertama ialah Association of Coworkers sebagai afiliasi dari Missionary of Charity. Asosiasi ini sendiri di setujui oleh Paus Paulus VI pada 26 Maret 1969. Meskipun merupakan afiliasi Missionary of Charity, asosiasi ini memiliki anggaran dasar tersendiri.
Selama tahun-tahun berikutnya, dari semula melayani hanya dua belas, Missionary of Charity berkembang hingga dapat melayani ribuan orang. Bahkan 450 pusat pelayanan tersebar di seluruh dunia untuk melayani orang-orang miskin dan telantar. Ia membangun banyak rumah bagi mereka yang menderita, sekarat, dan ditolak oleh masyarakat, dari Kalkuta hingga kampung halamannya di Albania. Ia juga salah satu pionir yang membangun rumah bagi penderita AIDS.
Berkat baktinya bagi mereka yang tertindas, Bunda Teresa pun mendapatkan berbagai penghargaan kemanusiaan. Pada tahun 1979, ia menerima John XXIII International Prize for Peace. Penghargaan ini diberikan langsung oleh Paus Paulus VI. Pada tahun yang sama, ia juga memperoleh penghargaan Good Samaritan di Boston.
Setelah mengabdikan dirinya selama bertahun-tahun di India, tentu saja pemerintah India tidak menutup mata akan pelayanannya. Maka pada tahun 1972, Bunda Teresa menerima Pandit Nehru Prize.
Setahun kemudian, ia menerima Templeton Prize dari Pangeran Edinburgh. Ia terpilih untuk menerima penghargaan tersebut dari dua ribu kandidat dari berbagai negara dan agama oleh juri dari sepuluh kelompok agama di dunia.
Puncaknya ialah pada tahun 1979 tatkala ia memperoleh hadiah Nobel Perdamaian. Hadiah uang sebesar $6.000 yang diperolehnya disumbangkan kepada masyarakat miskin di Kalkuta. Hadiah tersebut memungkinkannya untuk memberi makan ratusan orang selama setahun penuh. Ia berkata bahwa penghargaan duniawi menjadi penting hanya ketika penghargaan tersebut dapat membantunya menolong dunia yang membutuhkan.
Pada tahun 1985, Bunda Teresa mendirikan pusat rehabilitasi pertama agi korban AIDS di New York. Menyusul kemudian sejumlah rumah penampungan yang didirikan di San Fransisco dan Atlanta. Berkat upayanya ini, ia mendapatkan Medal of Freedom.
Pelayanan Bunda Teresa sama sekali tidak mengenal batas. Dipupuk di kampung halamannya, ia mengawali pelayanan di India. Dari India, pelayanannya meluas hingga ke seluruh penjuru dunia. Ia, di antaranya, berkunjung ke Etiopia untuk menolong korban kelaparan, korban radiasi di Chernobyl, dan korban gempa bumi di Armenia.
Memasuki tahun 1990-an, kondisi tubuh Bunda Teresa tidak mengizinkannya melakukan aktivitas yang berlebihan, khususnya setelah serangan jantung pada 1989. Kesehatannya merosot, sebagian karena usianya, sebagian karena kondisi tempat tinggalnya, sebagian lain dikarenakan perjalanannya ke berbagai penjuru dunia. Menyadari kondisi kesehatannya yang demikian, Bunda Teresa meminta Missionary of Charity untuk memilih penggantinya. Maka, pada 13 Maret 1997, Suster Nirmala terpilih untuk meneruskan pelayanan Bunda Teresa.
Bunda Teresa akhirnya meninggal dunia pada tanggal 5 September 1997 dalam usia 87 tahun. Berbagai petinggi dari 23 negara menghadiri pemakamannya. Upacara pemakaman diadakan pada 13 September 1997, di Stadion Netaji, India, yang berkapasitas 15.000 orang. Atas kebijakan Missionary of Charity, sebagian besar yang menghadiri upacara tersebut adalah orang-orang yang selama ini dilayani oleh Bunda Teresa.
dikutip dari :
Ref :
http://biokristi.sabda.org
http://cetiyamahasampatti.wordpress.com/2008/08/08/bunda-theresa/
http://biokristi.sabda.org
http://cetiyamahasampatti.wordpress.com/2008/08/08/bunda-theresa/
sumber: Geogle Search
Langganan:
Postingan (Atom)